Tegal - Harus diakui mafia peradilan itu ada, terbukti praktik hukum negatif yang diperdagangkan itu terjadi, dan perilaku ini dapat menumbangkan makna bahwa pengadilan bukan lagi" sebagai benteng terakhir keadilan" , karena masih terjadi "ada jual beli hukum dipengadilan melalui panitera dan hakim".
Dengan OTT KPK terkait oknum hakim dan panitera PN Surabaya kamis lalu (19/1)artinya ada hubungan erat dan keinginan yang sama dari perangkat peradilan untuk" pertukaran antara penawaran dan permintaan" , ada makelar hukum disini , bahkan hukum jadi komiditi dan bisnis melalui korupsi, dan menyalahgunakan kewenangan dalam dirinya sebagai hakim.
Baca juga:
Tony Rosyid: Firli dan Prahara di KPK
|
Masalah korupsi peradilan ini tidak pernah diselesaikan secara tuntas. Karena ini tidak semata tentang yuridis , ancaman pidana, sarana prasarana, namun harus pula dibenahi perilaku pelaku yang berinterakasi di pengadilan, termasuk hakim, panitera, advokat, jaksa dan polisi.
Data KPK maupun ICW terlihat bahwa hakim, jaksa dan advokat merupakan bagian terbanyak kontribusi jadi pintu korupsi di peradilan.
Sepanjang tidak ada kesediaan dari aparatur penegak hukum yang berinteraksi untuk berubah, komitmen "untuk perang atas mafia peradilan ini" tidak akan pernah membuka perspektif pemikiran dan perilaku yang baru, menjadi aparatur yang bersih dan berwibawa, karenanya pula jika tidak ada kesediaan berubah sampai kapan pun akan sulit untuk mengatasi mafia peradilan.
Ini lebih pada mental, karakter manusianya sendiri, dan karenanya disini perlu mendorong pimpinan lembaga penegak hukum untuk semakin memperkuat pengawasan dan pembinaan kualitas manusia Indonesia khususnya bagi perangkat peradilan yang semestinya dapat menjadi contoh keteladanan.
Azmi SyahputraDosen Hukum Pidana Universitas Trisakti.